Rabu, 25 Januari 2017

Kisah Terbelenggunya Dajjal Sebelum Keluar Ke Bumi

Tidak ada fitnah yang paling besar dihari kiamat kecuali datangnya Dajjal. Itulah yang disabdakan oleh Rasulullah kepada para sahabat beliau. Sungguh Begitu hebatnya keadaan disaat datangnya Dajjal. Sehingga Rasulullah banyak menyabdakan tentang fitnah Dajjal. Semoga kita tidak berada pada jaman hadirnya Dajjal. Berikut Nukilan mengenai asal usul Dajjal dan kisah Terbelunggunya Dajjal, sebelum ia keluar kebumi untuk menebarkan Fitnah.
          
Dajjal adalah sosok yang sangat jenius, ia mengetahui berbagai ilmu pengetahuan dan menguasai berbagai macam rahasia alam semesta. Sebagian riwayat menyebutkan bahwa ia juga sangat menguasai ilmu-ilmu keislaman, sehingga pada awal kemunculannya nanti, ia tampil sebagai seorang muballigh yang saleh. Ia bisa menampilkan berbagai macam keajaiban karena pengetahuannya akan rahasia alam semesta, dan tentunya karena diijinkan oleh Allah, sehingga pengikutnya makin banyak. Lama-kelamaan ia mengaku dirinya sebagai nabi, dan ketika makin banyak orang yang memujanya, ia mengaku dirinya sebagai Tuhan.

Tidak ada riwayat pasti yang menjelaskan kapan Dajjal ini dilahirkan? Seorang ulama, pemikir dan jurnalis dari Mesir bernama Syech Muhammad Isa Dawud menyatakan bahwa Dajjal dilahirkan sekitar satu abad sebelum Nabi Musa AS dilahirkan. Kesimpulan itu diambil berdasarkan kajian mendalam beberapa ayat-ayat Al Qur’an, berbagai hadist-hadist Nabi SAW, dan berbagai macam manuskrip (literatur) kuno yang beliau dapatkan dari berbagai daerah di Timur Tengah.

Orang tua Dajjal itu tinggal di daerah Samirah, sebuah daerah kecil di Palestina, yang di kemudian hari menjadi kota besar, ibukota dari kerajaan Nabi Daud dan Nabi Sulaiman. Masyarakat Samirah itu adalah para penyembah berhala dan pelaku berbagai macam kemaksiatan, termasuk sodomi dan liwath (homoseksual). Orang tua Dajjal memiliki sesembahan berhala yang mirip dengan sapi betina, dan sejak pernikahannya, mereka selalu membuat persembahan kepada berhalanya itu, dengan permintaan agar mereka diberi keturunan seorang anak laki-laki.

Setelah tigapuluh tahun berlalu, barulah istrinya mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki, tetapi kedua matanya cacat, satu saja yang bisa melihat dan tubuhnya tidak banyak bergerak. Selama bertahun-tahun layaknya ia hanya tidur saja, tetapi anehnya ia tumbuh sebagaimana bayi pada umumnya. Pada umur empat tahun, di suatu malam ia bergerak meninggalkan tempat tidurnya di antara ayah ibunya dan berpindah ke sebelah berhala mirip sapi betina itu, dan tidur di sana. Beberapa kali dikembalikan, ia berpindah lagi ke sisi berhala itu tanpa diketahui siapapun. Keadaan yang menghebohkan itu sempat membuat ayahnya diperiksa dan ditahan oleh Hakim.

Ketika ia berusia lima tahun, Allah menimpakan azab pada penduduk Samirah, buminya diguncang gempa amat keras hingga tanahnya terbalik seperti yang terjadi kaum Sadumi dan Amurah. Anehnya, anak kecil berusia lima tahun itu selamat, tinggal sendirian di antara reruntuhan puing-puing yang berserakan. Sepertinya Allah mempunyai ‘rencana besar’ dengan anak kecil tersebut, dan memerintahkan Jibril untuk memindahkan anak tersebut ke suatu pulau terpencil di antara berbagai pulau di “belantara” Laut Yaman, bagian dari Samudra Hindia.

Walau terpencil, pulau tersebut memiliki semua kelengkapan untuk kehidupan, air yang segar, buah-buahan dan berbagai jenis makanan lainnya. Di sana juga ada gua yang cukup besar dan nyaman, yang bisa melindunginya dari panas dan hujan. Allah menugaskan Jibril untuk merawat dan mengajari anak kecil tersebut, khususnya tentang aqidah dan keimanan, termasuk tentang akan datangnya Nabi Muhammad SAW sebagai penutup para nabi dan rasul. Secara khusus Allah menciptakan seekor binatang berbulu sangat tebal, yang bisa berbicara seperti manusia, yang disebut Al-Jassasah (yang selalu memata-matai). Al-Jassasah inilah yang sehari-harinya mengajar anak kecil, calon fitnah akhir zaman, Dajjal. Ajaran-ajaran yang disampaikan malaikat Jibril itu tertulis pada tujuh buah panel/dinding batu yang ada di salah satu bagian dari pulau tersebut.    

Setelah bertahun-tahun tinggal di pulau itu dan ia makin dewasa, suatu ketika ada perahu yang merapat di pulau tersebut, dan ia dibawa serta ke luar pulau. Mereka beranggapan, lelaki itu mungkin korban dari salah satu perahu yang tenggelam dan terdampar di pulau itu. Mereka menurunkan calon Dajjal ini di daratan Yaman yang jaraknya sekitar 4000 km dari pulau tersebut. Ia mulai mengembara, menjelajah berbagai tempat, dan karena Allah membekalinya dengan otak yang sangat jenius, ia belajar dengan cepat dan kepandaiannya makin meningkat, dengan mudah pula menyesuaikan dirinya dengan lingkungan baru. Ia membahasakan (menamakan) dirinya dengan Ibnu Samirah, dinisbahkan pada tempat asalnya seperti diceritakan al Jassasah.

Ia bekerja menjadi pelayan seorang filosof Yaman. Suatu ketika sang filosof tertarik untuk memeriksa daya pikir dan keanehan perilakunya, dan akhirnya sang filosof menyimpulkan, “Jika engkau bisa hidup lama, engkau bisa menjadi seorang raja yang sangat adil, atau sebaliknya raja yang sangat lalim!!”

Setelah tinggal beberapa tahun lamanya bersama sang filosof, Ibnu Samirah berkeinginan untuk mengunjungi negeri asalnya Samirah, yang berada di Palestina. Ia membeli sebuah perahu besar dan menggaji beberapa nelayan untuk menjalankannya. Segala kebutuhan dan perlengkapan juga dipersiapkan dalam perahunya itu. Tetapi sebelum mengarahkan ke Palestina, ia ingin mengunjungi pulau terpencil tempat masa kecilnya tinggal bersama al Jassasah. Walau tidak mudah bagi orang lain menemukannya, tetapi kekuatan ingatan dan pikirannya dengan mudah membawanya ke pulau itu.

Ketika ia berlabuh dengan perahu kecil di pantainya, al Jassasah menatapnya dengan tajam, tetapi kemudian meninggalkannya ke dalam hutan tanpa berkata apapun. Ibnu Samirah berjalan berkeliling mengenang masa kecilnya. Tidak terasa ia telah berusia seratus tahun lebih, tetapi sama sekali tidak ada gurat ketuaan di wajahnya. Bahkan tampaknya ia makin merasa kuat dan tegar, layaknya ketika berusia tigapuluhan. Ketika sampai pada panel batu yang bertuliskan pengajaran Malaikat Jibril, ia menemukan sebuah bejana berisi semacam tinta yang digunakan menulis pada batu. Ia mengambil bejana tersebut, ia juga mengambil atau memotong dari tiap panel batu pengajaran itu untuk kenang-kenangan. Kemudian ia kembali lagi ke perahunya dan mengarahkan ke Palestina.

Setelah beberapa hari lamanya mengarungi lautan, ia berlabuh di salah satu lembah di Palestina yang tersembunyi. Ia meneruskan ke Samirah dengan onta yang dibelinya. Walau ia tidak menemukan apa-apa dari negeri Samirah yang masih luluh lantak tanpa penghuni, dari beberapa orang berusia lanjut di negeri sekitar Samirah seperti al-Jalil dan al-Arbad, ia mendengar kisah tentang anak kecil yang diambil dewa-dewa ke pangkuannya. Ada juga kisah selentingan tentang anak kecil yang diculik malaikat ketika terjadi bencana besar yang menghancurkan Samirah. Kisah-kisah tersebut seolah membenarkan jati dirinya seperti yang diceritakan oleh al Jassasah.

Setelah tinggal di Palestina beberapa tahun lamanya, ia memutuskan menuju negeri sang Fir’aun, Mesir. Ia ‘melamar’ menjadi pelayan seorang dukun terkenal di negeri itu, yang dengan senang hati menerimanya setelah mengetahui kemampuan dan kecerdasannya. Saat itu Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS sedang mendakwahkan agama Tauhid kepada Fir’aun dan masyarakat Mesir, khususnya kaum Bani Israil yang hidup dalam perbudakan di negeri itu. Dukun yang diikutinya itu seorang yang berusia tigaratus tahun dan sangat mengenal sejarah hidup Nabi Musa AS di Mesir. Ketika ia mendengar kisah Musa tersebut, ia segera menceritakan kisah kehidupannya, yang segera saja sang dukun berkata, “Kalau begitu engkau adalah Musa yang lain, yakni Musa dari Samirah (Musa as Samiri).”


Mungkin karena inilah, muncul suatu ungkapan dari sebagian ulama dalam hal pendidikan dan pengajaran, “Musa yang dididik oleh Fir’aun menjadi salah seorang Nabi dan Rasul, sedang Musa (as Samiri) yang dididik oleh malaikat Jibril malah menjadi orang yang paling ingkar kepada Allah…!!”

Ibnu Samirah sangat kagum dengan komentar sang dukun itu, dan ia merasa derajadnya tidaklah terlalu jauh daripada Nabi Musa AS. Setelah beberapa waktu lamanya, ia memutuskan untuk bergabung dengan Bani Israil karena ada kedekatan kedaerahan dan garis darah leluhurnya yang bertemu dengan Nabi Musa, yakni pada Nabi Ya’kub. Ia juga menikahi salah seorang wanita Bani Israil tetapi tidak mempunyai keturunan. Namun demikian, walau ia melihat berbagai macam mu’jizat yang ditunjukkan Nabi Musa AS, hatinya tidak bisa sepenuhnya mengimani Nabi Musa AS, termasuk juga mengimani Allah SWT. Sementara itu, beberapa orang dari Bani Israil menunjukkan penghargaan dan kedekatannya kepada Ibnu Samirah karena kecerdasan dan kepiawaiannya dalam beberapa hal. Walau tidak banyak, mereka itu layaknya ‘budaknya’ Ibnu Samirah, yang akan selalu menurut jika diperintahkannya.

Ketika Allah SWT memerintahkan Nabi Musa dan Bani Israil untuk meninggalkan Mesir menuju Palestina, Ibnu Samirah ikut serta dalam rombongan besar itu. Beberapa kali lagi ia melihat dengan mata kepalanya sendiri mu’jizat Nabi Musa AS, termasuk membelah lautan dengan tongkat beliau, tetapi semua itu tidak membuatnya beriman. Bahkan terbersit dalam pikirannya, “Akupun bisa melakukannya suatu saat nanti, bahkan bisa lebih dahsyat!!”

Ketika Bani Israil telah selamat dari kejaran Fir’aun dan tiba di sisi gunung Thursina, Nabi Musa meninggalkan mereka dalam pengawasan Nabi Harun untuk segera ‘menghadap’ Allah di Bukit Thursina. Pada saat itulah Ibnu Samirah membikin ulah dengan membuat sebuah patung anak sapi dari emas dan dapat bersuara, dan mengatakan bahwa itulah tuhannya Musa dan Bani Israil. Sebagian besar dari mereka mempercayainya dan menyembah patung emas tersebut, segala upaya dilakukan oleh Nabi Harun untuk mencegah mereka tetapi mengalami kegagalan.

Lebih lengkapnya bisa dilihat dalam Al Qur’an Surat Thaha ayat 83-97, lebih baik lagi kalau dilengkapi dengan tafsirnya. Hanya saja yang menjadi dasar renungan Syech Muhammad Isa Dawud sehingga ‘menyimpulkan’ bahwa Samiri atau Ibnu Samirah ini adalah calon Dajjal, adalah sikap Nabi Musa dalam peristiwa itu.

Begitu turun dari Thursina sambil membawa shuhuf yang terbuat dari batu berisi Perintah-perintah Allah (The Ten Command The Men, istilah baratnya), Nabi Musa melihat kaumnya telah menyembah dan menari-nari di depan tuhan barunya, sebuah patung sapi betina dari emas yang bisa bersuara. Hati Nabi Musa sangat marah, mukanya merah padam dan tanpa disadari beliau melemparkan shuhuf yang beliau pegang sambil berteriak keras. Mendengar suara keras beliau tersebut, kaum Bani Israil langsung menghentikan aktivitas penyembahannya dengan ketakutan.

Kemudian Nabi Musa menghampiri Nabi Harun, menarik janggut dan memegang kepalanya dan berkata dengan marah, seolah-olah Nabi Harun telah mengabaikan perintahnya, lihat Surat Thaha ayat 92-94. Padahal Nabi Harun telah berusaha keras, tetapi beliau tidak mampu mempengaruhi Bani Israil yang telah berada di bawah kendali dan pengaruh Samiri atau Ibnu Samirah itu.

Tetapi ketika Nabi Musa menghadapkan diri kepada Samiri, otak dari segala macam kekacauan dan fitnah bagi Bani Israil sepeninggal beliau ke Thursina, Al Qur’an (Surat Thaha ayat 95-97) tidak menjelaskan ‘sikap keras’ Nabi Musa seperti sebelumnya, bahkan akhirnya beliau hanya berkata, “Pergilah kamu, maka sesungguhnya bagimu dalam kehidupan dunia ini hanya bisa berkata : Janganlah menyentuhku. Dan sesungguhnya bagimu telah ada ketentuan waktu, yang kamu tidak akan bisa menghindarinya….!!” (QS Thaha 97). 

Nabi SAW telah menjelaskan, “Sesungguhnya saya memperingatkan kalian akan Dajjal. Dan tidak ada seorang nabi-pun kecuali mereka mengingatkan kaumnya (tentang dirinya). Akan tetapi saya akan menyampaikan kepada kalian apa yang belum pernah disampaikan nabi-nabi kepada kaumnya. Sesungguhnya ia (Dajjal) itu buta sebelah dan sesungguhnya Allah tidaklah buta sebelah. Dan tertulis di antara kedua mata Dajjal ka-fa-ra (artinya kafir)!!”
Mungkin ketika Nabi Musa menghadap ke Samiri, beliau melihat tanda-tanda Dajjal pada dirinya. Karena itu, walau beliau termasuk seorang yang sangat keras dalam menerapkan syariat, tetapi beliau membiarkan Samiri pergi, karena beliau meyakini Allah telah mempunyai rencana sendiri dengan dirinya. Sementara kepada kaum Bani Israil yang menyatakan dirinya bertobat, beberapa di antara mereka yang punya andil besar dalam penyembahan berhala tersebut, disyaratkan untuk bunuh diri agar taubatnya diterima, dan mereka mau melakukannya. Bagaimanapun, kehidupan akhirat jauh lebih bak daripada kehidupan dunia.

Setelah diusir Nabi Musa, Ibnu Samirah kembali melanjutkan pengembaraannya dari satu negeri ke negri lainnya. Entah berapa tahun atau berapa abad perjalanannya ia hampir tidak merasakannya karena ia tetap dalam kemudaannya. Pengetahuannya makin bertambah banyak dan semua itu makin menambah kesombongan dan ambisinya. Setelah cukup lelah menjelajah, ia memutuskan untuk kembali ke pulau tempat ia dibesarkan. Ia mengira, al Jassasah yang telah menjadi ‘teman’ masa kecilnya itu telah mati, ternyata tidak. Ia menemukannya di dekat panel batu yang berisi pengajaran malaikat Jibril. Tetapi ia sama sekali tidak berbicara (menjawab) ketika diajaknya bercakap-cakap. Yang keluar dari mulutnya hanyalah ucapan yang berulang-ulang, “Laa ilaaha illallaah, lahul mulku wa lahul hamdu, yukhyii wa yumiit, wahuwa ‘alaa kulli syai-in qodiir!!”

Setelah beberapa waktu lamanya hidup di pulau itu tanpa bisa berkomunikasi, ia kembali mengadakan perjalanan berkelana. Ia mendengar tentang seorang nabi yang menghebohkan, dengan gelaran al masih, yakni Nabi Isa AS. Ibnu Samirah tidak mau langsung bertemu atau menyatu dengan umat Nabi Isa seperti ketika dengan Nabi Musa dahulu. Ia mengirim seorang utusan sementara ia menunggu di luar, dengan sebuah pesan kepada Nabi Isa AS, “Jika engkau benar-benar seorang nabi, katakan kepadaku siapa yang di luar?”

Ketika utusan itu menghadap Nabi Isa dan menyampaikan pesan tersebut, sejenak Nabi Isa terdiam, kemudian beliau bersabda, “Wahai saudaraku, katakan kepada orang yang mengutusmu itu, bahwa Allah yang Maha Perkasa dan Maha Agung menerima taubat dan mengampuni semua dosa hamba-Nya, jika hamba tersebut mau bertaubat dan mengesakan Allah maka ia benar-benar akan kembali (suci). Allah-lah yang melindungi anak kecil yang sedang tidur dari kekejaman penguasa, Dia-lah pula yang memeliharanya di pulau tempat tinggal binatang raksasa ketika ia masih kecil. Dia-lah yang mengajarkan kepadanya Keesaan Allah dan shalat melalui tulisan kepercayaan-Nya Jibril. Dia Maha Kuasa untuk memaafkan fitnah yang dibuatnya kepada Bani Israil, asalkan dia beriman kepada al Masih ar Rabb (yakni Nabi Isa AS), dan kepada kitab Injil yang diturunkan kepadanya..!!”

Setelah mendengar jawaban tersebut dari orang yang diutusnya, Ibnu Samirah segera berlalu pergi. Tampaknya pengalaman pahit ketika bertemu dengan Nabi Musa membuatnya jengah untuk bertemu dan bergaul dengan Nabi Isa, apalagi tidak niatan sama sekali dalam hatinya untuk bertaubat. Maka ia melanjutkan ‘tradisi’ pengembaraannya dari satu negeri ke negeri lainnya. Kalau ada suatu tempat yang belum pernah dikunjunginya, maka ia akan segera menuju ke tempat itu. Setelah berabad-abad tanpa ia menyadarinya, kerinduannya kepada pulau tempat al Jassasah itu muncul juga, dan ia mengarahkan perahunya ke sana.

Ibnu Samirah menambatkan perahunya dan berjalan menuju gua tempat tinggalnya dulu. Tetapi tiba-tiba muncul al Jassasah menghalangi jalannya, binatang raksasa berbulu tebal ‘teman’ masa kecilnya itu tidak sendirian. Ada duapuluh orang berwajah seperti matahari, tingginya seperti pepohonan dan masing-masing dari mereka membawa semacam rantai besi bercampur baja yang mengkilat laksana emas. Ibnu Samirah yang mempunyai pengetahuan luas tentang berbagai macam barang tambang di bumi, sepertinya tidak mengenali jenis logam tersebut.

Tiba-tiba saja ia merasakan suatu ketakutan amat dalam sehingga tubuhnya menggigil. Padahal selama ini ia tidak pernah merasa takut kepada apapun dan siapapun, termasuk ketika ia menghadapi Nabi Musa AS, setelah fitnah yang dikobarkannya lewat patung emas anak sapi yang sempat menjadi sesembahan Bani Israil. Ketakutan yang pertama kali dirasakannya itu membuat ia lupa jati dirinya, lupa pada kecerdikannya, kekuatannya, kesombongannya, ambisinya dan lupa pada semua kelebihannya yang selama ini menjadi andalannya. Dengan terbata-bata ia berkata, “Apa ini? Siapa mereka? Bagaimana mereka sampai di sini?”

Al Jassasah berkata dengan tegas, “Wahai orang yang paling bodoh, engkau telah menyia-nyiakan dua kesempatan (untuk bertaubat, yakni ketika bertemu dengan Nabi Musa AS dan Nabi Isa AS), dan kini tidak tersisa lagi bagimu kecuali janji terakhir!!”

Belum sempat Ibnu Samirah berkata atau berbuat apapun, duapuluh orang berwajah cahaya itu menyerangnya dan ia langsung pingsan karena takutnya. Ketika terbangun, ia telah berada di dalam gua, kaki dan tangannya terbelenggu dengan rantai yang cukup panjang sehingga ia bisa bergerak leluasa di dalam gua tersebut. Ketika ia mencoba mengerahkan kekuatan dan ilmunya untuk membuka/mematahkan rantai tersebut, tampaknya sia-sia saja. Padahal berbagai jenis logam di bumi dengan mudah ‘dikendalikan’ dengan ilmu dan kekuatannya.

Al Jassasah yang juga berada di dalam gua itu, setelah melihatnya putus asa dengan segala upayanya, berkata dengan tegas kepadanya, “Wahai Dajjal masa depan, sekarang engkau berada di zaman penutup para nabi, kekasih Allah, Nabi Muhammad SAW. Ia telah lahir beberapa hari yang lalu ketika engkau berada di tengah lautan. Engkau berada di penghujung akhir zaman di bumi. Janji Allah telah datang masanya, engkau tidak akan terlepas dari belenggumu itu kecuali jika telah kekasih Allah, Muhammad SAW telah wafat, berpulang ke hadirat Yang Maha Tinggi. Sedangkan tanda keluarmu sebagai orang yang paling sombong di muka bumi adalah terputusnya pohon kurma Baisan (dari berbuah), berkurangnya air danau Thabariyah, mengeringnya mata air Zhugar, dan banyak terjadinya gempa bumi yang dahsyat…!!”

Setelah itu al Jassasah meninggalkannya sendiri. Sesekali ia datang ke dalam gua membawa berbagai buah-buahan, tetapi tidak pernah berbicara atau menjawab ketika diajak bicara, kecuali hanya pandangan keprihatinan. Beberapa puluh tahun berselang, sekelompok orang dari Palestina terdampar di pulau itu karena perahunya mengalami kerusakan. Mereka itu adalah Tamim ad Daari, seorang pendeta Nashrani dan teman-temannya, yang sempat melakukan pembicaraan dengan Ibnu Samirah atau calon Dajjal ini, dan akhirnya memeluk Islam dan menjadi salah seorang sahabat Nabi SAW.

Dalam versi Syech Muhammad Isa Dawud ini, setelah Rasulullah SAW wafat, belenggu Ibnu Samirah atau Dajjal tersebut tiba-tiba melunak dan dengan mudah ia melepaskan diri. Ia segera keluar dari pulau tersebut dan sepertinya ia tidak pernah ingin kembali lagi ke pulau tersebut setelah ‘pengalaman pahit’ 63 tahun (qomariah/hijriah atau 61 tahun masehi) terbelenggu dalam keadaan lemah tak berdaya. Tak lupa al Jassasah mengantar kepergiannya dengan doa laknat sebagaimana laknat yang ditimpakan Allah kepada Iblis. Ia kemudian melanjutkan kebiasaannya melanglang buana ke seluruh penjuru dunia, khususnya negeri-negeri yang belum pernah dikunjunginya.

Dalam versi lainnya, yakni pengajian dari para ulama yang pernah saya dengar, belenggu Dajjal sebenarnya belum terlepas sampai saat ini. Setiap saat ia ‘menggerogoti’nya agar belenggu itu terlepas, tetapi bersamaan dengan itu, setiap kali adzan dikumandangkan, belenggu itu makin kuat dan makin menebal lagi. Tetapi Dajjal tidak pernah beristirahat dan putus asa untuk berusaha memutuskan belenggu tersebut. Jika suatu saat nanti di bumi tidak ada lagi yang mengumandangkan adzan, tidak ada lagi yang menguatkan belenggu Dajjal dan ia akan terlepas dan menyebarkan fitnah ke seluruh penjuru dunia. Namun untuk kisah versi yang ini, saya belum menemukan rujukan kitabnya. Wallahu ‘Alam.(Ibnu Ghufron)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar